Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Terhadap Rumah Yang Akan Dilelang Bank Akibat Kredit Macet (Gagal Bayar)

Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Terhadap Rumah Yang Akan Dilelang Bank Akibat Kredit Macet (Gagal Bayar) March 12, 2025 Upaya Hukum yang dapat dilakukan terhadap Rumah yang terancam dilelang Bank akibat Kredit Macet adalah mengajukan upaya hukum yaitu Permohonan Restukrurisasi Kredit dan/atau Penjualan Rumah atau Objek Tanggungan dibawah Tangan. 1. Permohonan Restrukturisasi Kredit Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 secara umum dijelaskan restrukturisasi kredit dapat diajukan debitur kepada bank dengan mekanisme berupa permohonan: 2. Penjualan rumah atau objek tanggungan dibawah tangan Dengan cara ini debitur dapat terhindar dari pelelangan yang mengakibatkan kerugian penjulan rumah atau objek tanggungan dengan cara pelelangan umum. Karena pelelangan umum biasanya menjual rumah objek tanggungan dengan harga dibawah pasar (harga murah). Mekanisme dapat ini diajukan oleh debitur kepada bank terkait sebagaiman diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah Pasal 20 ayat (2)“atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak” Informasi Hukum ini ditulis oleh Buntora Situmorang – Pengacara Medan, keahlian Perkara Pidana khususnya Tindak Pidana Narkotika. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 822-8503-7173. Share:
Alasan-Alasan Perceraian

Alasan-Alasan Perceraian March 11, 2025 Merujuk Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), alasan-alasan perceraian adalah sebagai berikut: Khusus yang beragama Islam, merujuk Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, terdapat dua tambahan alasan perceraian selain alasan-alasan di atas yaitu:
Tidak Mampu Bayar Utang, Tidak Bisa Dipidana

Tidak Mampu Bayar Utang, Tidak Bisa Dipidana March 7, 2025 Seseorang yang tidak mampu membayar utang tidak bisa dipidana. Hal tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.” Lebih lanjut, Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93K/Kr/1969 dan 39K/Pid/1984 menegaskan bahwa perkara hutang piutang adalah perkara perdata dan terhadap perkara perdata tersebut bukanlah tindak pidana. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93K/Kr/1969 dan 39K/Pid/1984 “Sengketa Hutang-piutang adalah merupakan sengketa perdata.” Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93K/Kr/1969 dan 39K/Pid/1984 “Hubungan hukum antara terdakwa dan saksi merupakan hubungan perdata yaitu hubungan jual beli, sehingga tidak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan tindak pidana penipuan.” Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Seseorang yang tidak mampu membayar utang tidak bisa dipidana. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:
Gugatan TIDAK Boleh Diajukan di Wilayah Hukum Tempat Tinggal Turut Tergugat

Gugatan TIDAK Boleh Diajukan di Wilayah Hukum Tempat Tinggal Turut Tergugat March 1, 2025 Gugatan TIDAK BOLEH diajukan di wilayah hukum tempat tinggal Turut Tergugat. Hal tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 914 K/Pdt/2023 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Turut Tergugat yang dituntut untuk mentaati putusan maka kewenangan pengadilan negeri harus berdasarkan actor sequitur forum rei tanpa hak opsi yang dalam hal ini GUGATAN HARUS DIAJUKAN DI WILAYAH HUKUM TEMPAT TINGGAL TERGUGAT. Adapun kaidah hukum selengkapnya adalah sebagai berikut: “Bahwa sudah tepat judex facti karena dalam perkara a quo yang menjadi pokok gugatan adalah pembatalan perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat sedangkan Turut Tergugat dituntut untuk mentaati putusan dalam perkara a quo, maka kewenangan pengadilan negeri harus berdasarkan actor sequitur forum rei tanpa hak opsi, oleh karena yang digugat yang terdiri dari 2 (dua) pihak, yaitu Tergugat selaku orang yang menandatangani perjanjian sedangkan Turut Tergugat adalah pihak ketiga yang ikut dalam pelaksanaan perjanjian, maka sudah tepat pertimbangan putusan judex facti gugatan harus diajukan diwilayah hukum tempat tinggal Tergugat;” Lebih lanjut, Kaidah Hukum tersebut di atas juga sebagaimana Pendapat Ahli Hukum M. Yahya Harahap dalam bukunya, Hukum Acara Perdata (hal. 192-202), yang menyatakan bahwa setidaknya ada 7 patokan dalam menentukan kewenangan relatif pengadilan berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg, salah satunya yakni Actor Sequitur Forum Rei Tanpa Hak Opsi, tetapi berdasarkan tempat tinggal debitur principal (dalam hal para tergugat salah satunya merupakan debitur pokok/debitur principal, sedangkan yang selebihnya berkedudukan sebagai penjamin, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal debitur pokok/principal). Adapun bunyi Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg adalah sebagai berikut: (1) Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangan oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua PENGADILAN NEGERI DI TEMPAT DIAM SI TERGUGAT, atau jika tempat diamnya tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenarnya. (KUHPerd. 15; IR. 101 .) (2) Jika yang digugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang digugat itu adalah seorang debitur utama dan seorang penanggungnya maka tanpa mengurangi ketentuan pasal 6 ayat (2) “Reglemen Susunnan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia”, TUNTUTAN ITU DIAJUKAN KEPADA KETUA PENGADILAN NEGERI DI TEMPAT TINGGAL DEBITUR UTAMA ATAU SALAH SEORANG DEBITUR UTAMA. (3) Jika tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang tersebut. (4) Jika ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu. (Ro. 95-11, 4′, 5′; KUHPerd. 24; Rv. 1, 99; IR. 133, 238.) Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan demikian gugatan TIDAK BOLEH diajukan di tempat tinggal Turut Tergugat adapun GUGATAN TERSEBUT HARUS DIAJUKAN DI WILAYAH HUKUM TEMPAT TINGGAL TERGUGAT. Penarikan Turut Tergugat yang BERTEMPAT TINGGAL BERBEDA dengan Tergugat merupakan bentuk penyeludupan hukum, oleh karenanya sudah sepatutnya gugatan tersebut ditolak atau tidak diterima karena pengadilan tempat tinggal Turut Tergugat tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan atau perkara tersebut. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:
Surat Kuasa seharusnya TIDAK Menggunakan Kop Surat Kantor Advokat?

Surat Kuasa seharusnya TIDAK Menggunakan Kop Surat Kantor Advokat? February 20, 2025 Surat Kuasa TIDAK MENGGUNAKAN kop surat kantor advokat. Hal tersebut sebagaimana pendapat ahli hukum Jeremias Lemek dalam bukunya yang berjudul Penuntun Membuat Gugatan pada halaman 16 pada pokoknya diterangkan bahwa tidaklah benar kalau surat kuasa menggunakan kop surat dari si penerima kuasa atau kop surat dari kantor advokat. Adapun pendapat Jeremias Lemek selengkapnya sebagai berikut: “Karena pada asasnya, surat kuasa itu merupakan lastgeving, volmacht, atau machtiging atau perbuatan penyuruhan atau pemberian perintah atau pemberian kuasa, maka, TIDAKLAH BENAR kalau surat kuasa itu menggunakan kop surat dari si penerima kuasa atau kop surat dari kantor advokat. Karena dalam konteks pemberian kuasa, yang menjadi bos adalah si pemberi kuasa dan yang menerima kuasa adalah orang yang disuruh. Kalau ada yang menggunakan kop surat dari si pemberi kuasa (seperti contohnya perusahaan yang memberikan kuasa kepada kantor advokat) masih dapat dibenarkan karena pemberi kuasa adalah bos sedangkan si penerima kuasa adalah kacung atau orang yang disuruh.” Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Surat Kuasa TIDAK MENGGUNAKAN kop surat kantor advokat. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:
Cara Penentuan Suatu Perjanjian atau Kerjasama Sebagai Penipuan atau Wanprestasi

Cara Penentuan Suatu Perjanjian atau Kerjasama Sebagai Penipuan atau Wanprestasi February 18, 2025 Perjanjian sebagai tindak pidana penipuan atau wanptestasi ditentukan oleh keadaan saat perjanjian tersebut ditandatangani. Hal tersebut sebagaimana Kaidah Hukum Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 4/Yur/Pid/2018 dan Pendapat Ahli Hukum Yahman dalam bukunya yang berjudul Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan Kaidah Hukum Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 4/Yur/Pid/2018 “Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan,kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik.” Pendapat Ahli Hukum Yahman “Batasan antara wanprestasi dengan penipuan yaitu terletak pada tempus delicti atau waktu ketika perjanjian atau kontrak itu ditutup atau perjanjian/kontrak ditandatangani. Apabila adanya tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak terjadi setelah kontrak ditandatangani (post factum), maka perbuatan itu merupakan wanprestasi. Sedangkan, jika terjadi sebelum kontrak ditandatangani, maka perbuatan itu merupakan suatu perbuatan penipuan.” Merujuk dasar hukum tersebut diatas, maka dapat diterangkan bahwa apabila kebohongan itu dilakukan sebelum tanda tangan perjanjian (seperti contohnya berbohong mengenai jumlah barang yang dimiliki saat negosiasi perjanjian atau belum tandatangan perjanjian) maka perbuatan dalam perjanjian tersebut merupakan tindak pidana penipuan. Namun jika kebohongan tersebut dilakukan setelah perjanjian tersebut ditandatangani (seperti contohnya berbohong mengenai terjadinya bencana alam sehingga barang tidak dapat dikirim) maka perbuatan dalam perjanjian tersebut merupakan wanprestasi. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:
Alasan-Alasan Hukum Penghentian Penyidikan oleh Kepolisian

Alasan-Alasan Hukum Penghentian Penyidikan oleh Kepolisian February 17, 2025 Merujuk Lampiran I Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor 1 Tahun 2022 tentang Standard Operasional Prosedur Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana, alasan-alasan hukum dilakukannya penghentian penyidikan oleh Kepolisian adalah sebagai berikut: 1. Tidak cukup bukti 2. Bukan merupakan Tindak Pidana 3. Kadaluwarsa 4. Tersangka meninggal dunia 5. Tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem) 6. Dilakukannya perdamaian atau keadilan restoratif 7. Dilakukannya diversi 8. Didasarkan atas pengambilan keputusan 9. Putusan pra peradilan yang telah memiliki kekuatan tetap 10. Pengaduan dicabut (khusus delik aduan) Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:
Informasi yang Dimuat dalam Penyerahan Panggilan Sidang

Informasi yang Dimuat dalam Penyerahan Panggilan Sidang February 16, 2025 Merujuk angka 12 Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Panggilan Dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat Penyerahan, panggilan dan/atau pemberitahuan melalui surat tercatat harus memuat informasi sebagai berikut: a. “telah diterima langsung oleh pihak penerima”, dalam hal diterima langsung para pihak; b. “penerima tidak bersedia menenma atau tidak bersedia menandatangani”, dalam hal para pihak tidak bersedia menerima atau menandatangani; c. “telah diterima oleh ….. (nama penerima) yang tinggal serumah dengan pihak penerima/ resepsionis/ petugas keamanan di apartemen/rumah susun/tempat tinggal lainnya yang sejenis di tempat ting gal penerima”, dalam hal di terima oleh orang yang tinggal serumah dengan para pihak a tau resepsionis / petugas keamanan di apartemen/rumah susun/tempat tinggal lainnya yang sejenis di tempat tinggal para pihak; d. “telah diterima oleh . . . .. (nama penerima), lurah/ kepala desa (termasuk aparat kelurahan/ desa) . . . . (nama kelurahan/ desa terkait) karena tidak bertemu dengan pihak penerima setelah dilakukan pengantaran sebanyak 2 (dua) kalt’, dalam hal disampaikan melalui lurah/kepala desa (termasuk aparat kelurahan/ desa) setempat; e. “alamat pihak penerima tidak ditemukan sesuai keterangan … . (nama}, lurah/ kepala desa (termasuk aparat kelurahan/ desa) … . (nama kelurahan/ des a terkaitf’, dalam hal alama t para pihak tidak ditemukan; f. “pihak penerima tidak tinggal di alamat yang dituju sesum keterangan . . . . (nama), lurah/ kepala desa (termasuk aparat kelurahan/ desa) . . . . (nama kelurahan/ desa terkaitf’, dalam hal para pihak tidak tinggal di alamat tersebut; atau g. “pihak penerima telah meninggal dunia sesuai keterangan … . (nama), lurah/ kepala desa (termasuk aparat kelurahan/ desa) … . (nama kelurahan/ desa terkaitf’, dalam hal para pihak telah meninggal dunia. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:
Syarat-Syarat Surat Panggilan Sidang yang Sah dan Patut

Draft Tulisan Maruli January 22, 2025 Draft Tulisan Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:
Apakah Surat Panggilan Sidang Harus Disampaikan Kepada Para Pihak Secara Langsung?

Surat Panggilan Sidang Harus Disampaikan Kepada Para Pihak Secara Langsung February 14, 2025 Pada prinsipnya surat panggilan sidang harus disampaikan secara langsung kepada para pihak sebagaimana yang diterangkan dalam angka 1 dan 3 Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Panggilan Dan Pemberitahuan Melalui Surat Tercatat (SEMA 1/2023) yang menyatakan: “Bahwa panggilan dan/ atau pemberitahuan melalui surat tercatat merupakan panggilan dan/atau pemberitahuan yang disampaikan kepada para pihak melalui surat yang dialamatkan pada penerima harus dibuktikan dengan tanda terima dari penerima dengan menyebutkan tanggal terima.” “Bahwa panggilan dan/atau pemberitahuan harus disampaikan langsung (on hand delivery) kepada para pihak, akan tetapi dalam hal tidak dapat disampaikan secara langsung, disampaikan kepada orang dewasa yang tinggal serumah dengan para pihak.” Namun terdapat pengecualian bahwa surat panggilan tersebut dapat diterima oleh pihak lain yaitu: a. Orang Dewasa yang Tinggal Serumah dengan Para Pihak Angka 3 SEMA 1/2023: “Bahwa panggilan dan/atau pemberitahuan harus disampaikan langsung (on hand delivery) kepada para pihak, akan tetapi dalam hal tidak dapat disampaikan secara langsung, disampaikan kepada orang dewasa yang tinggal serumah dengan para pihak.” b. Resepsionis atau Petugas Keamanan Angka 5 dan 6 SEMA 1/2023 5. Bahwa dalam hal para pihak bertempat tinggal di tempat dengan akses terbatas seperti apartemen/rumah susun/tempat tinggal lainnya yang seJen1s, panggilan dan/ atau pemberitahuan yang tidak dapat disampaikan secara langsung (on hand delivery) kepada para pihak atau kepada orang dewasa yang tinggal serumah disampaikan kepada resepsionis/petugas keamanan di tempat tinggal tersebut. 6. Bahwa penyampaian panggilan dan/ atau pemberitahuan kepada orang yang tinggal serumah dengan para pihak dan resepsionis/petugas keamanan di apartemen/rumah susun/tempat tinggal lainnya yang sejenis, sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan angka 5, hanya dapat dilakukan dalam hal: a. penerima bukan pihak lawan dalam perkara terkait; dan b. penerima bersedia difoto disertai kartu tanda identitas yang bersangkutan. Merujuk aturan tersebut di atas, dengan demikian resepsionis atau petugas keamanan dapat menerima surat panggilan sidang asalkan resepsionis atau petugas kemanan tersebut bukan pihak lawan dalam perkara terkait dan bersedia difoto disertai kartu tanda identitas. c. Lurah atau Kepala Desa (termasuk aparat kelurahan/desa) setempat Angka 7 dan 8 SEMA 1/2023 7. Bahwa dalam hal orang yang tinggal serumah dan resepsionis / petugas keamanan di apartemen/rumah susun/tempat tinggal lainnya yang. sejenis sebagaimana dimaksud pada angka 3 dan angka 5 tidak bersedia difoto disertai kartu tanda identitasnya, panggilan dan/ atau pemberitahuan disampaikan melalui lurah atau kepala desa (termasuk aparat kelurahan/ desa) setempat. 8. Bahwa dalam hal rumah para pihak tidak berpenghuni, harus disertakan foto rumah terkait, selanjutnya panggilan dan/ atau pemberitahuan tersebut disampaikan melalui lurah atau kepala desa (termasuk aparat kelurahan/ desa) setempat setelah melakukan pengantaran sebanyak 2 (dua) kali ke alamat para pihak pada hari yang sama atau dalam hal tidak dimungkinkan pengantaran kedua dapat dilakukan pada hari berikutnya. Merujuk aturan tersebut di atas, maka dengan demikian disimpulkan bahwa surat panggilan sidang harus disampaikan secara langsung kepada para pihak, namun terdapat pengecualian berdasarkan undang-undang bahwa surat panggilan tersebut dapat diterima oleh pihak lain seperti orang dewasa yang tinggal serumah dengan para pihak, resepsionis atau petugas kemanan serta Lurah atau Kepala Desa (termasuk aparat kelurahan/desa) setempat. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share: