Pecandu Narkotika Tidak Dapat Dipidana

Pecandu Narkotika Tidak Dapat Dipidana March 12, 2025 Pecandu Narkotika tidak dapat dipidana apabila pecandu narkotika tersebut telah melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 55 juncto Pasal 128 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Pasal 55 UU Narkotika(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 128 ayat (2) dan (3) UU Narkotika(2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.(3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1166 K/Pid.Sus/2016 telah menerapkan pasal tersebut di atas, dimana majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa seharusnya tidak bisa dituntut karena alasan pengecualian penuntutan pidana sesuai ketentuan Pasal 55 ayat (2) juncto Pasal 128 ayat (3) UU Narkotika. Majelis hakim menunjuk fakta bahwa terdakwa sudah melaporkan diri sebagaimana dibuktikan surat keterangan Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Kediri tertanggal 10 Desember 2015 dan BNN juga merekomendasikan terdakwa mengikuti perawatan medis dalam bentuk rehabilitasi rawat inap. Dalam Putusan tersebut, majelis Hakim juga merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 juncto SEMA Nomor 3 Tahun 2011, yang mengatur tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Pada pokoknya ketentuan SEMA tersebut membenarkan pecandu atau penyalah guna narkotika yang sedang menjalani masa perawatan/rehabilitasi rawat jalan membawa, memiliki, menyimpan atau menggunakan narkotika jenis sabu maksimum 1 gram. Adapun pertimbangan hukum majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1166 K/Pid.Sus/2016 selengkapnya adalah sebagai berikut: “Bahwa, terlepas alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum, Judex Facti salah menerapkan hukum dalam hal menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, putusan Judex Facti bertentangan dangan ketentuan sebagaimana dimaksud di bawah ini;Bahwa, ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 menegaskan bahwa pecandu Narkotika yang sudah dewasa melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya ke Pusat Kesehatan Masyarakat, Rumah Sakit, dan atau lembaga rehabilitasi medis atau sosial yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi medis atau sosial;Bahwa, ketentuan Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menentukan pecandu yang sudah dewasa sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (2), yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 kali masa pengobatan/ perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk pemerintah tidak dapat dituntut;Bahwa, konstruksi fakta hukum berdasarkan actus reus pada tanggal 14 September 2015 bertempat di rumah kontrakan Terdakwa Bambang Susilo bin Bajuri di Ruko Pasar Sepi Kota Kediri dilakukan penangkapan dan penggeledahan. Polisi menemukan 1 bungkus plastik Narkotika jenis sabu berat 0,31 gram serta pipet kaca yang sudah pecah. Sabu tersebut diperoleh/dibeli Terdakwa dari Roma dengan cara memesan melalui telepon lalu mentransfer uangnya, setelah itu mengambil Narkotikanya dengan sistem ranjau. Harga sabu tersebut sebesar Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah);Bahwa, Terdakwa ditangkap oleh 2 orang polisi, di persidangan menerangkan bahwa saat ditangkap Terdakwa membawa, menguasai, menyimpan, memiliki Narkotika jenis sabu seberat 0,31 gram. Dipersidangan Terdakwa membenarkan keterangan polisi kalau dirinya membawa, menguasai, memiliki Narkotika. Terdakwa sudah 4 kali membeli sabu dari Roma. Terdakwa sudah berada pada kategori ketergantungan Narkotika pada tingkat yang berat. Sehingga 6 bulan yang lalu Terdakwa pernah datang ke BNN Kota Kediri untuk melaporkan diri sebagai penyalahguna yang sudah kecanduan. Terdakwa pada waktu melaporkan diri BNN telah melakukan assesment;Bahwa, BNN Kota Kediri ketika melakukan assesment menyarankan kepada Terdakwa untuk mengikuti program rehabilitasi rawat inap tetapi Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga sehingga menolak untuk direhabilitasi rawat inap dan meminta rehabilitasi rawat jalan.Bahwa dalam masa perawatan Terdakwa datang satu kali sehingga Terdakwa mengalami perawatan pada saat pertama melaporkan diri dan satu kali setelah assesment rawat jalan.Bahwa assesment dan perawatan pertama dilakukan pada tanggal 10 Juni 2015, setelah itu Terdakwa datang kembali untuk direhabilitasi rawat jalan;Bahwa, berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan Terdakwa sebagai penyalahguna/kecanduan telah memenuhi ketentuan Pasal 55 ayat (2) jo. Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 karena telah melaporkan diri ke pihak BNN Kota Kediri dan telah dilakukan assesment dan pengobatan sebanyak dua kali maka secara hukum Terdakwa yang tertangkap membawa, menyimpan atau memiliki Narkotika sebanyak 0,31 gram tidak dapat dilakukan proses atau tuntutan hukum.Bahwa penuntutan terhadap Terdakwa merupakan suatu bentuk kriminalisasi sebab perbuatan Terdakwa a quo telah dikecualikan oleh Pasal 55 ayat (2) jo. Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 jo. SEMA No.4 Tahun 2010 perubahan SEMA No.3 Tahun 2011;Bahwa, pada pokoknya ketentuan dalam SEMA tersebut membenarkan penyalahguna Narkotika yang sedang menjalani masa perawatan/rehabilitasi rawat jalan membawa, memiliki, menyimpan atau menggunakan Narkotika jenis sabu maksimum 1 gram;Bahwa, tindakan aparat hukum dalam menangani Terdakwa yang telah melaporkan diri ke pihak BNN Kota Kediri seharusnya tidak melakukan proses hukum, melainkan langsung melakukan perawatan medis dengan cara rehabilitasi rawat INAP berdasarkan rekomendasi assesment BNN Kota Kediri;Bahwa, untuk membuktikan benar Terdakwa telah melaporkan diri dan telah diassesmet oleh BNN Kota Kediri didasarkan pada Surat Keterangan dari BNN Kota Kediri tanggal 10 Desember 2015;Bahwa, berdasarkan alasan pertimbangan tersebut perbuatan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika namun tidak dapat dituntut karena ada alasan pengecualian penuntutan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) jo. Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 jo. SEMA No. 4 Tahun 2010 sebagaimana diubah
Alasan-Alasan Perceraian

Alasan-Alasan Perceraian March 11, 2025 Merujuk Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), alasan-alasan perceraian adalah sebagai berikut: Khusus yang beragama Islam, merujuk Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, terdapat dua tambahan alasan perceraian selain alasan-alasan di atas yaitu:
Pemahaman Mengenai Perselisihan Hubungan Industrial dan Jenis-Jenisnya

Pemahaman Mengenai Perselisihan Hubungan Industrial dan Jenis-Jenisnya March 9, 2025 Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan (Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Penyelesaian Perselisihan Industrial (UU Penyelesaian PHI); Adapun terdapat 4 jenis Perselisihan Hubungan Industrial yaitu antara lain sebagai berikut: Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2 UU Penyelesaian PHI) Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; (Pasal 1 angka 3 UU Penyelesaian PHI) Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak; (Pasal 1 angka 4 UU Penyelesaian PHI) Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan; (Pasal 1 angka 5 UU Penyelesaian PHI) Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:
Subjek Hukum dalam Perselisihan Hubungan Industrial

Subjek Hukum dalam Perselisihan Hubungan Industrial March 6, 2025 Subjek hukum dalam perselisihan hubungan industrial adalah pengusaha, pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja (untuk selanjutnya kedua Undang-Undang ini disebut UU Ketenagakerjaan jo. UU Ciptaker) Pasal 1 angka 22 UU Ketenagakerjaan jo. UU Ciptaker Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Adapun defenisi dari masing masing subjek hukum tersebut adalah sebagai berikut: Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. (Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan jo. Ciptaker) Pengusaha adalah: Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. (UU Ketenagakerjaan jo. Ciptaker) Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:
Gugatan TIDAK Boleh Diajukan di Wilayah Hukum Tempat Tinggal Turut Tergugat

Gugatan TIDAK Boleh Diajukan di Wilayah Hukum Tempat Tinggal Turut Tergugat March 1, 2025 Gugatan TIDAK BOLEH diajukan di wilayah hukum tempat tinggal Turut Tergugat. Hal tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 914 K/Pdt/2023 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Turut Tergugat yang dituntut untuk mentaati putusan maka kewenangan pengadilan negeri harus berdasarkan actor sequitur forum rei tanpa hak opsi yang dalam hal ini GUGATAN HARUS DIAJUKAN DI WILAYAH HUKUM TEMPAT TINGGAL TERGUGAT. Adapun kaidah hukum selengkapnya adalah sebagai berikut: “Bahwa sudah tepat judex facti karena dalam perkara a quo yang menjadi pokok gugatan adalah pembatalan perjanjian antara Penggugat dengan Tergugat sedangkan Turut Tergugat dituntut untuk mentaati putusan dalam perkara a quo, maka kewenangan pengadilan negeri harus berdasarkan actor sequitur forum rei tanpa hak opsi, oleh karena yang digugat yang terdiri dari 2 (dua) pihak, yaitu Tergugat selaku orang yang menandatangani perjanjian sedangkan Turut Tergugat adalah pihak ketiga yang ikut dalam pelaksanaan perjanjian, maka sudah tepat pertimbangan putusan judex facti gugatan harus diajukan diwilayah hukum tempat tinggal Tergugat;” Lebih lanjut, Kaidah Hukum tersebut di atas juga sebagaimana Pendapat Ahli Hukum M. Yahya Harahap dalam bukunya, Hukum Acara Perdata (hal. 192-202), yang menyatakan bahwa setidaknya ada 7 patokan dalam menentukan kewenangan relatif pengadilan berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg, salah satunya yakni Actor Sequitur Forum Rei Tanpa Hak Opsi, tetapi berdasarkan tempat tinggal debitur principal (dalam hal para tergugat salah satunya merupakan debitur pokok/debitur principal, sedangkan yang selebihnya berkedudukan sebagai penjamin, maka gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri pada tempat tinggal debitur pokok/principal). Adapun bunyi Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg adalah sebagai berikut: (1) Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangan oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua PENGADILAN NEGERI DI TEMPAT DIAM SI TERGUGAT, atau jika tempat diamnya tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenarnya. (KUHPerd. 15; IR. 101 .) (2) Jika yang digugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang digugat itu adalah seorang debitur utama dan seorang penanggungnya maka tanpa mengurangi ketentuan pasal 6 ayat (2) “Reglemen Susunnan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia”, TUNTUTAN ITU DIAJUKAN KEPADA KETUA PENGADILAN NEGERI DI TEMPAT TINGGAL DEBITUR UTAMA ATAU SALAH SEORANG DEBITUR UTAMA. (3) Jika tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang tersebut. (4) Jika ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu. (Ro. 95-11, 4′, 5′; KUHPerd. 24; Rv. 1, 99; IR. 133, 238.) Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan demikian gugatan TIDAK BOLEH diajukan di tempat tinggal Turut Tergugat adapun GUGATAN TERSEBUT HARUS DIAJUKAN DI WILAYAH HUKUM TEMPAT TINGGAL TERGUGAT. Penarikan Turut Tergugat yang BERTEMPAT TINGGAL BERBEDA dengan Tergugat merupakan bentuk penyeludupan hukum, oleh karenanya sudah sepatutnya gugatan tersebut ditolak atau tidak diterima karena pengadilan tempat tinggal Turut Tergugat tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan atau perkara tersebut. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:
Tujuan Praperadilan

Tujuan Praperadilan February 28, 2025 Tujuan Praperadilan diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 (Putusan MK), yaitu: Memeriksa dan memutus mengenai:
Persyaratan Administrasi yang Harus Disiapkan Dalam Penangkapan

Persyaratan Administrasi yang Harus Disiapkan Dalam Penangkapan February 27, 2025 Merujuk pada halaman 45 angka 5 Lampiran I Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor 1 Tahun 2022 tentang Standard Operasional Prosedur Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana, syarat- Persyaratan Administrasi yang harus disiapkan untuk kegiatan penangkapan adalah sebagai berikut: Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:
Syarat-Syarat Materiil yang Harus dipenuhi Pihak Kepolisian dalam melakukan Penangkapan

Syarat-Syarat Materiil yang Harus dipenuhi Pihak Kepolisian dalam melakukan Penangkapan February 26, 2025 Merujuk pada halaman 44 angka 3 Lampiran I Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor 1 Tahun 2022 tentang Standard Operasional Prosedur Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana, syarat-syarat materiil yang harus dipenuhi polisi dalam melakukan penangkapan adalah sebagai berikut:
SOP Penangkapan Biasa oleh Polisi

SOP Penangkapan Biasa oleh Polisi February 25, 2025 Merujuk pada halaman 44 Lampiran I Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor 1 Tahun 2022 tentang Standard Operasional Prosedur Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana, Standard Operasional Prosedur (SOP) penangkapan adalah sebagai berikut: Penangkapan adalah tindakan penyidik atau penyidik pembantu berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka guna kepentingan penyidikan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang. 2) Metode 3) Petugas 4) Kelengkapan dan Peralatan yang dibawa dan digunakan 5) Persyaratan Administrasi yang harus disiapkan untuk kegiatan penangkapan 6) Urutan Tindakan penangkapan oleh penyidik atau penyidik pembantu
Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti

Perbedaan Alat Bukti dan Barang Bukti February 23, 2025 Perbedaan alat bukti dan barang bukti dapat dibedakan menjadi 4 bagian yaitu dari pengertian, dasar hukum, jenis dan fungsi. 1. Pengertian Alat bukti adalah alat-alat yang dapat digunakan sebagai bahan pembuktian, memiliki hubungan dalam tindak pidana yang terjadi, dan menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Barang bukti adalah benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 2. Dasar Hukum Alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Barang bukti diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP, Pasal 42 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) serta penjelasannya dan Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 10 Tahun 2010 juncto Peraturan Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 8 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia (PerKaPolRI No. 8/2014). 3. Jenis Jenis-jenis Alat Bukti antara lain: Jenis-jenis barang bukti antara lain: 4. Fungsi Alat bukti berfungsi sebagai bahan pembuktian, untuk menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Barang bukti berfungsi untuk menguatkan kedudukan alat bukti yang sah. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share: