Kantor Hukum Sumatra Lawyers

Pecandu Narkotika Tidak Dapat Dipidana

Pecandu Narkotika Tidak Dapat Dipidana March 12, 2025 Pecandu Narkotika tidak dapat dipidana apabila pecandu narkotika tersebut telah melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 55 juncto Pasal 128 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Pasal 55 UU Narkotika(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.(2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 128 ayat (2) dan (3) UU Narkotika(2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.(3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1166 K/Pid.Sus/2016 telah menerapkan pasal tersebut di atas, dimana majelis hakim menyatakan bahwa terdakwa seharusnya tidak bisa dituntut karena alasan pengecualian penuntutan pidana sesuai ketentuan Pasal 55 ayat (2) juncto Pasal 128 ayat (3) UU Narkotika. Majelis hakim menunjuk fakta bahwa terdakwa sudah melaporkan diri sebagaimana dibuktikan surat keterangan Badan Narkotika Nasional (BNN) Kota Kediri tertanggal 10 Desember 2015 dan BNN juga merekomendasikan terdakwa mengikuti perawatan medis dalam bentuk rehabilitasi rawat inap. Dalam Putusan tersebut, majelis Hakim juga merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 juncto SEMA Nomor 3 Tahun 2011, yang mengatur tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Pada pokoknya ketentuan SEMA tersebut membenarkan pecandu atau penyalah guna narkotika yang sedang menjalani masa perawatan/rehabilitasi rawat jalan membawa, memiliki, menyimpan atau menggunakan narkotika jenis sabu maksimum 1 gram. Adapun pertimbangan hukum majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1166 K/Pid.Sus/2016 selengkapnya adalah sebagai berikut: “Bahwa, terlepas alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum, Judex Facti salah menerapkan hukum dalam hal menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, putusan Judex Facti bertentangan dangan ketentuan sebagaimana dimaksud di bawah ini;Bahwa, ketentuan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 menegaskan bahwa pecandu Narkotika yang sudah dewasa melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya ke Pusat Kesehatan Masyarakat, Rumah Sakit, dan atau lembaga rehabilitasi medis atau sosial yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi medis atau sosial;Bahwa, ketentuan Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menentukan pecandu yang sudah dewasa sebagaimana dimaksud Pasal 55 ayat (2), yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 kali masa pengobatan/ perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk pemerintah tidak dapat dituntut;Bahwa, konstruksi fakta hukum berdasarkan actus reus pada tanggal 14 September 2015 bertempat di rumah kontrakan Terdakwa Bambang Susilo bin Bajuri di Ruko Pasar Sepi Kota Kediri dilakukan penangkapan dan penggeledahan. Polisi menemukan 1 bungkus plastik Narkotika jenis sabu berat 0,31 gram serta pipet kaca yang sudah pecah. Sabu tersebut diperoleh/dibeli Terdakwa dari Roma dengan cara memesan melalui telepon lalu mentransfer uangnya, setelah itu mengambil Narkotikanya dengan sistem ranjau. Harga sabu tersebut sebesar Rp400.000,00 (empat ratus ribu rupiah);Bahwa, Terdakwa ditangkap oleh 2 orang polisi, di persidangan menerangkan bahwa saat ditangkap Terdakwa membawa, menguasai, menyimpan, memiliki Narkotika jenis sabu seberat 0,31 gram. Dipersidangan Terdakwa membenarkan keterangan polisi kalau dirinya membawa, menguasai, memiliki Narkotika. Terdakwa sudah 4 kali membeli sabu dari Roma. Terdakwa sudah berada pada kategori ketergantungan Narkotika pada tingkat yang berat. Sehingga 6 bulan yang lalu Terdakwa pernah datang ke BNN Kota Kediri untuk melaporkan diri sebagai penyalahguna yang sudah kecanduan. Terdakwa pada waktu melaporkan diri BNN telah melakukan assesment;Bahwa, BNN Kota Kediri ketika melakukan assesment menyarankan kepada Terdakwa untuk mengikuti program rehabilitasi rawat inap tetapi Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga sehingga menolak untuk direhabilitasi rawat inap dan meminta rehabilitasi rawat jalan.Bahwa dalam masa perawatan Terdakwa datang satu kali sehingga Terdakwa mengalami perawatan pada saat pertama melaporkan diri dan satu kali setelah assesment rawat jalan.Bahwa assesment dan perawatan pertama dilakukan pada tanggal 10 Juni 2015, setelah itu Terdakwa datang kembali untuk direhabilitasi rawat jalan;Bahwa, berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan Terdakwa sebagai penyalahguna/kecanduan telah memenuhi ketentuan Pasal 55 ayat (2) jo. Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 karena telah melaporkan diri ke pihak BNN Kota Kediri dan telah dilakukan assesment dan pengobatan sebanyak dua kali maka secara hukum Terdakwa yang tertangkap membawa, menyimpan atau memiliki Narkotika sebanyak 0,31 gram tidak dapat dilakukan proses atau tuntutan hukum.Bahwa penuntutan terhadap Terdakwa merupakan suatu bentuk kriminalisasi sebab perbuatan Terdakwa a quo telah dikecualikan oleh Pasal 55 ayat (2) jo. Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 jo. SEMA No.4 Tahun 2010 perubahan SEMA No.3 Tahun 2011;Bahwa, pada pokoknya ketentuan dalam SEMA tersebut membenarkan penyalahguna Narkotika yang sedang menjalani masa perawatan/rehabilitasi rawat jalan membawa, memiliki, menyimpan atau menggunakan Narkotika jenis sabu maksimum 1 gram;Bahwa, tindakan aparat hukum dalam menangani Terdakwa yang telah melaporkan diri ke pihak BNN Kota Kediri seharusnya tidak melakukan proses hukum, melainkan langsung melakukan perawatan medis dengan cara rehabilitasi rawat INAP berdasarkan rekomendasi assesment BNN Kota Kediri;Bahwa, untuk membuktikan benar Terdakwa telah melaporkan diri dan telah diassesmet oleh BNN Kota Kediri didasarkan pada Surat Keterangan dari BNN Kota Kediri tanggal 10 Desember 2015;Bahwa, berdasarkan alasan pertimbangan tersebut perbuatan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika namun tidak dapat dituntut karena ada alasan pengecualian penuntutan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) jo. Pasal 128 ayat (3) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 jo. SEMA No. 4 Tahun 2010 sebagaimana diubah

Hal-Hal yang Harus Dilakukan jika Dituduh Melakukan Penggelapan

Hal-Hal yang Harus Dilakukan jika Dituduh Melakukan Penggelapan March 8, 2025 Hal yang harus anda lakukan adalah membuktikan bahwa perbuatan yang dituduhkan kepada anda tersebut tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun bunyi Pasal 372 KUHP tersebut: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Merujuk Pasal tersebut di atas, unsur-Unsur Pasal 372 KUHP antara lain sebagai berikut:a. barang siapa;b. dengan sengaja;c. melawan hukum;d. memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; dane. tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan; Unsur-unsur Pasal 372 KUHP tersebut di atas harus dapat anda bantah, seperti contohnya:a. Unsur dengan sengaja dapat anda bantah dengan membuktikan bahwa anda tidak sengaja serta tidak ada niat sama sekali untuk melakukan perbuatan yang dituduhkan kepada anda.b. Unsur dengan melawan hukum dapat anda bantah dengan membuktikan bahwa anda telah melakukan perbuatan itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau aturan, perbuatan tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan apapun dan perbuatan tersebut anda lakukan dengan itikad baik.c. Unsur memiliki suatu barang dapat anda bantah dengan membuktikan bahwa barang tersebut tidaklah anda miliki, sama sekali tidak ada niat untuk memiliki barang tersebut dan tidak ada satu pun perbuatan anda yang menunjukkan bahwa anda menggunakan barang tersebut seolah-olah milik anda.d. Unsur terkahir dapat anda bantah dengan membuktikan bahwa penguasaan barang tersebut bukan pada anda dan tidak ada sama sekali niat anda untuk memiliki barang tersebut. Apabila anda berhasil membantah unsur-unsur atau salah satu unsur tersebut di atas maka unsur-unsur dalam Pasal 372 KUHP tidak terpenuhi sehingga anda tidak dapat dipidana atas dugaan tindak pidana penggelapan. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:

Tidak Mampu Bayar Utang, Tidak Bisa Dipidana

Tidak Mampu Bayar Utang, Tidak Bisa Dipidana March 7, 2025 Seseorang yang tidak mampu membayar utang tidak bisa dipidana. Hal tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.” Lebih lanjut, Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93K/Kr/1969 dan 39K/Pid/1984 menegaskan bahwa perkara hutang piutang adalah perkara perdata dan terhadap perkara perdata tersebut bukanlah tindak pidana. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93K/Kr/1969 dan 39K/Pid/1984 “Sengketa Hutang-piutang adalah merupakan sengketa perdata.” Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93K/Kr/1969 dan 39K/Pid/1984 “Hubungan hukum antara terdakwa dan saksi merupakan hubungan perdata yaitu hubungan jual beli, sehingga tidak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan tindak pidana penipuan.” Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Seseorang yang tidak mampu membayar utang tidak bisa dipidana. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:

Hukuman Penyalahgunaan Bantuan Bencana

Hukuman Penyalahgunaan Bantuan Bencana March 3, 2025 Hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan bagi pelaku yang menyalahgunakan bantuan bencana adalah sebagai berikut: 1. Pidana mati2. Pidana penjara seumur hidup3. Pidana penjara selama waktu tertentu4. Pidana denda5. Pidana tambahan Sanksi-sanksi tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR) jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana). Penerapan sanksi terhadap Pelaku yang menyalahgunakan bantuan bencana tersebut menyesuaikan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Apabila perbuatan pelaku dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi (perbuatan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara) maka pelaku dapat dikenakan pidana mati. Perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi contohnya menyalahgunakan bantuan bencana yang diberikan oleh Kementerian Sosial atau Kementerian Keuangan. Sementara itu, apabila perbuatan pelaku tidak dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi maka pelaku tidak dapat dikenakan pidana mati. Perbuatan yang TIDAK dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi contohnya menyalahgunakan bantuan bencana yang dihimpun dari orang-perorangan atau masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat diterangkan melalui tabel dibawah ini: No. Perbuatan Pelaku yang dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi Perbuatan Pelaku yang TIDAK dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi 1. Pidana mati (Pasal 2 ayat (2) jo Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor) Pidana seumur hidup (Pasal 78 UU Penanggulangan Bencana) 2. Pidana seumur hidup (Pasal 603 KUHP) Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 78 UU Penanggulangan Bencana) 3. Pidana penjara paling singkat 2 (tahun) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 603 KUHP) Denda paling paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah) (Pasal 78 UU Penanggulangan Bencana) 4. Pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) (Pasal 603 KUHP) – 5. Pidana tambahan (Pasal 18 UU TIPIKOR jo. Pasal 66 KUHP) – Adapun isi pasal yang mengatur mengenai sanksi bagi pelaku penyalahgunaan bantuan bencana yang dikategorikan perbuatannya sebagai tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: Pasal 603 KUHP (Perubahan Pasal 2 ayat (1) UU TIPIKOR) (Pidana seumur hidup, penjara sementara waktu dan denda) “Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)” Pasal 2 ayat (2) UU TIPIKOR (Pidana mati) “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.” Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU TIPIKOR “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.” Pasal 18 UU TIPIKOR (Pidana tambahan) “(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebayak-banyaknya sama dengan harta benda yag diperoleh dari tindak pidana korupsi;c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.” Pasal 66 KUHP “Pidana tambahan terdiri atas:a. pencabutan hak tertentu;b. perampasan Barang tertentu dan/ atau tagihan;c. pengumuman putusan hakim;d. pembayaran ganti rugi;e. pencabutan izin tertentu; danf. pemenuhan kewajiban adat setempat” Sementara itu, isi pasal yang mengatur mengenai sanksi bagi pelaku penyalahgunaan bantuan bencana yang TIDAK dikategorikan perbuatannya sebagai tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: Pasal 78 UU Penanggulangan Bencana “Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).” Pasal 65 UU Penanggulangan Bencana“Pengelolaan sumber daya bantuan bencana meliputi perencanaan, penggunaan, pemeliharaan, pemantauan, dan pengevaluasian terhadap barang, jasa, dan/atau uang bantuan nasional maupun internasional.” Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:

Perubahan dalam Suatu Surat bukanlah Delik Pemalsuan Surat apabila…

Perubahan dalam Suatu Surat bukanlah Delik Pemalsuan Surat apabila… March 2, 2025 Kaidah Hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 1327 K/Pid/2001 pada pokoknya menyatakan bahwa perubahan dalam surat yang diduga palsu bukanlah delik pemalsuan surat sebab perubahan tersebut adalah selayaknya dilakukan. Adapun pertimbangan lengkap majelis hakim Mahkamah Agung adalah sebagai berikut: “Penambahan kata “R. Wukirman” dibelakang kata R. Alam Wakit Ranawi” dalam duplikat akta nikah no. 200/1965 (bukti P2) sehingga tidak sesuai dengan Register Akata Nikah di KUA Kecamatan Purworejo – Klampok atas perkawinan antara R. Alam Wakit Ranawi dengan Saemi (mempelai perempuan) (bukti P1 dan T.II.1)  maka Duplikat Akta Nikah a quo termasuk dalam pengertian surat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) karena dapat dipergunakan untuk bukti terhadap suatu perbuatan/kenyataan (rechfeit) perkawinan yang bersangkutan. Akan tetapi yang dimaksud dengan membuat secara palsu, berarti pula PEMALSUAN DI DALAM SURAT ITU TENTANG SESUATU YANG SELAYAKNYA TIDAK DIISIKAN ATAU DIISIKAN SECARA LAIN mengenai tanggal, bulan dan tahun (daya pembuktian luar (uitwendege bewijskracht), muatan atau inti/substansi atau materi (daya pembuktian mareriil – materiele bewijskracht) dan tanda tangan (daya pembuktian formil) justru “tidak dilakukan dalam duplikat akta nikah” yang bersangkutan sehingga penambahan nama R. Wukirman dalam duplikat akta nikah, BUKANLAH DELIK PEMALSUAN SURAT DALAM PASAL 263 KUHP SEBAB PENAMBAHAN A QUO SUDAH SELAYAKNYA yakni kata R. Wukirman justru nama lain, alias dari R Alam Wakit Ranawi. Oleh karena unsur membuat palsu surat atau memalsu surat tidak terbukti, sedangkan unsur ini merupakan salah satu unsur dari delik yang didakwakan (pasal 263 ayat (2) KUHP) maka para Terdakwa harus dibebaskan…” Bahwa merujuk Kaidah Hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa apabila perubahan dalam surat yang diduga palsu bukanlah delik pemalsuan surat sebab perubahan tersebut adalah selayaknya dilakukan. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:

Syarat-Syarat Materiil yang Harus dipenuhi Pihak Kepolisian dalam melakukan Penangkapan

Syarat-Syarat Materiil yang Harus dipenuhi Pihak Kepolisian dalam melakukan Penangkapan February 26, 2025 Merujuk pada halaman 44 angka 3 Lampiran I Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor 1 Tahun 2022 tentang Standard Operasional Prosedur Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana, syarat-syarat materiil yang harus dipenuhi polisi dalam melakukan penangkapan adalah sebagai berikut:

SOP Penangkapan Biasa oleh Polisi

SOP Penangkapan Biasa oleh Polisi February 25, 2025 Merujuk pada halaman 44 Lampiran I Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor 1 Tahun 2022 tentang Standard Operasional Prosedur Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana, Standard Operasional Prosedur (SOP) penangkapan adalah sebagai berikut: Penangkapan adalah tindakan penyidik atau penyidik pembantu berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka guna kepentingan penyidikan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang. 2) Metode 3) Petugas 4) Kelengkapan dan Peralatan yang dibawa dan digunakan 5) Persyaratan Administrasi yang harus disiapkan untuk kegiatan penangkapan 6) Urutan Tindakan penangkapan oleh penyidik atau penyidik pembantu

Hal yang Harus Dilakukan Apabila Dituduh Melakukan Penipuan

Hal yang Harus Dilakukan Apabila Dituduh Melakukan Penipuan February 24, 2025 Hal yang harus dilakukan apabila dituduh melakukan tindak pidana penipuan adalah membuktikan bahwa perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai tindak pidana penipuan. Adapun bunyi Pasal 378 KUHP tersebut: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang ataupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Merujuk Pasal tersebut di atas, adapun unsur-Unsur Pasal 378 KUHP mengenai tindak pidana penipuan antara lain sebagai berikut: Berkenaan dengan hal tersebut diatas, unsur-unsur Pasal 378 KUHP tersebut di atas harus dapat dibantah agar seseorang terbukti tidak melakukan tindak pidana penipuan, seperti contohnya: a. Unsur “dengan maksud” dapat dibantah dengan membuktikan bahwa tidak kesengajaan, tidak ada niat dan/atau tidak ada maksud sama sekali untuk melakukan tindak pidana penipuan yang dituduhkan. b. Unsur “untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum“ dapat dibantah dengan membuktikan bahwa sama sekali tidak ada keuntungan yang diperoleh baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Pun apabila faktanya ada keuntungan yang diperoleh maka harus dibuktikan bahwa keuntungan tersebut diperoleh TIDAK secara melawan hukum atau tidak ada hukum yang dilanggar dalam memperoleh kuntungan tersebut. c. Unsur “dengan penggunaan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan” dapat dibantah dengan membuktikan bahwa nama yang digunakan adalah nama asli atau tidak palsu, martabat atau jabatan yang digunakan adalah nyata atau tidak palsu, tidak ada tipu muslihat serta tidak ada rangkaian kebohongan dalam melakukan perbuatan tersebut, artinya perbuatan tersebut dilakukan secara jujur dan nyata. d. Unsur terkahir, yaitu “menggerakkan atau membujuk orang lain untuk menyerahkan barang, memberi utang, atau menghapus piutang” dapat dibantah dengan membuktikan bahwa si yang tertuduh TIDAK menggerakkan atau membujuk orang lain untuk menyerahkan barang, memberi utang, atau piutang. Pun apabila faktanya seseorang tersebut menyerahkan barang maka harus dibuktikan bahwa penyerahan barang tersebut bukan karena tergerak atau terbujuk oleh si tertuduh dan/atau inisiatif penyerahan barang ada pada seseorang tersebut. Apabila berhasil membantah unsur-unsur atau salah satu unsur tersebut di atas maka unsur Pasal 378 KUHP tidak terpenuhi sehingga seseorang tidak dapat dipidana atas dugaan tindak pidana penipuan. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:

Cara Penentuan Suatu Perjanjian atau Kerjasama Sebagai Penipuan atau Wanprestasi

Cara Penentuan Suatu Perjanjian atau Kerjasama Sebagai Penipuan atau Wanprestasi February 18, 2025 Perjanjian sebagai tindak pidana penipuan atau wanptestasi ditentukan oleh keadaan saat perjanjian tersebut ditandatangani. Hal tersebut sebagaimana Kaidah Hukum Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 4/Yur/Pid/2018 dan Pendapat Ahli Hukum Yahman dalam bukunya yang berjudul Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan Kaidah Hukum Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 4/Yur/Pid/2018 “Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan,kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik.” Pendapat Ahli Hukum Yahman “Batasan antara wanprestasi dengan penipuan yaitu terletak pada tempus delicti atau waktu ketika perjanjian atau kontrak itu ditutup atau perjanjian/kontrak ditandatangani. Apabila adanya tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak terjadi setelah kontrak ditandatangani (post factum), maka perbuatan itu merupakan wanprestasi. Sedangkan, jika terjadi sebelum kontrak ditandatangani, maka perbuatan itu merupakan suatu perbuatan penipuan.” Merujuk dasar hukum tersebut diatas, maka dapat diterangkan bahwa apabila kebohongan itu dilakukan sebelum tanda tangan perjanjian (seperti contohnya berbohong mengenai jumlah barang yang dimiliki saat negosiasi perjanjian atau belum tandatangan perjanjian) maka perbuatan dalam perjanjian tersebut merupakan tindak pidana penipuan. Namun jika kebohongan tersebut dilakukan setelah perjanjian tersebut ditandatangani (seperti contohnya berbohong mengenai terjadinya bencana alam sehingga barang tidak dapat dikirim) maka perbuatan dalam perjanjian tersebut merupakan wanprestasi. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:

Perbedaan Laporan dan Pengaduan

Perbedaan Laporan dan Pengaduan February 12, 2025 Merujuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. (Pasal 1 butir 24 KUHAP) Sedangkan, Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. (Pasal 1 butir 24 KUHAP) Merujuk aturan tersebut di atas, letak perbedaan antara laporan dan pengaduan adalah terletak pada jenis hukum materiil atau jenis kejahatan tindak pidana yang diberitahukan. Pada Laporan, pemberitahuan bersifat umum, meliputi seluruh jenis tindak pidana. Sedangkan pada Pengaduan, merupakan pemberitahuan dari seseorang kepada pejabat yang berwenang tentang “tindak pidana aduan” atau klacht delik yang menimbulkan kerugian kepadanya. Artikel Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Ahli Hukum Indonesia. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share: