Kantor Hukum Sumatra Lawyers

Hal-Hal yang Harus Dilakukan jika Dituduh Melakukan Penggelapan

Hal-Hal yang Harus Dilakukan jika Dituduh Melakukan Penggelapan March 8, 2025 Hal yang harus anda lakukan adalah membuktikan bahwa perbuatan yang dituduhkan kepada anda tersebut tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun bunyi Pasal 372 KUHP tersebut: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Merujuk Pasal tersebut di atas, unsur-Unsur Pasal 372 KUHP antara lain sebagai berikut:a. barang siapa;b. dengan sengaja;c. melawan hukum;d. memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; dane. tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan; Unsur-unsur Pasal 372 KUHP tersebut di atas harus dapat anda bantah, seperti contohnya:a. Unsur dengan sengaja dapat anda bantah dengan membuktikan bahwa anda tidak sengaja serta tidak ada niat sama sekali untuk melakukan perbuatan yang dituduhkan kepada anda.b. Unsur dengan melawan hukum dapat anda bantah dengan membuktikan bahwa anda telah melakukan perbuatan itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau aturan, perbuatan tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan apapun dan perbuatan tersebut anda lakukan dengan itikad baik.c. Unsur memiliki suatu barang dapat anda bantah dengan membuktikan bahwa barang tersebut tidaklah anda miliki, sama sekali tidak ada niat untuk memiliki barang tersebut dan tidak ada satu pun perbuatan anda yang menunjukkan bahwa anda menggunakan barang tersebut seolah-olah milik anda.d. Unsur terkahir dapat anda bantah dengan membuktikan bahwa penguasaan barang tersebut bukan pada anda dan tidak ada sama sekali niat anda untuk memiliki barang tersebut. Apabila anda berhasil membantah unsur-unsur atau salah satu unsur tersebut di atas maka unsur-unsur dalam Pasal 372 KUHP tidak terpenuhi sehingga anda tidak dapat dipidana atas dugaan tindak pidana penggelapan. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:

Tidak Mampu Bayar Utang, Tidak Bisa Dipidana

Tidak Mampu Bayar Utang, Tidak Bisa Dipidana March 7, 2025 Seseorang yang tidak mampu membayar utang tidak bisa dipidana. Hal tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.” Lebih lanjut, Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93K/Kr/1969 dan 39K/Pid/1984 menegaskan bahwa perkara hutang piutang adalah perkara perdata dan terhadap perkara perdata tersebut bukanlah tindak pidana. Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93K/Kr/1969 dan 39K/Pid/1984 “Sengketa Hutang-piutang adalah merupakan sengketa perdata.” Putusan Mahkamah Agung Nomor: 93K/Kr/1969 dan 39K/Pid/1984 “Hubungan hukum antara terdakwa dan saksi merupakan hubungan perdata yaitu hubungan jual beli, sehingga tidak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan tindak pidana penipuan.” Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Seseorang yang tidak mampu membayar utang tidak bisa dipidana. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:

Hukuman Penyalahgunaan Bantuan Bencana

Hukuman Penyalahgunaan Bantuan Bencana March 3, 2025 Hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan bagi pelaku yang menyalahgunakan bantuan bencana adalah sebagai berikut: 1. Pidana mati2. Pidana penjara seumur hidup3. Pidana penjara selama waktu tertentu4. Pidana denda5. Pidana tambahan Sanksi-sanksi tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR) jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU Penanggulangan Bencana). Penerapan sanksi terhadap Pelaku yang menyalahgunakan bantuan bencana tersebut menyesuaikan dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Apabila perbuatan pelaku dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi (perbuatan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara) maka pelaku dapat dikenakan pidana mati. Perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi contohnya menyalahgunakan bantuan bencana yang diberikan oleh Kementerian Sosial atau Kementerian Keuangan. Sementara itu, apabila perbuatan pelaku tidak dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi maka pelaku tidak dapat dikenakan pidana mati. Perbuatan yang TIDAK dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi contohnya menyalahgunakan bantuan bencana yang dihimpun dari orang-perorangan atau masyarakat. Untuk lebih jelasnya dapat diterangkan melalui tabel dibawah ini: No. Perbuatan Pelaku yang dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi Perbuatan Pelaku yang TIDAK dikategorikan sebagai Tindak Pidana Korupsi 1. Pidana mati (Pasal 2 ayat (2) jo Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor) Pidana seumur hidup (Pasal 78 UU Penanggulangan Bencana) 2. Pidana seumur hidup (Pasal 603 KUHP) Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 78 UU Penanggulangan Bencana) 3. Pidana penjara paling singkat 2 (tahun) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun (Pasal 603 KUHP) Denda paling paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah) (Pasal 78 UU Penanggulangan Bencana) 4. Pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) (Pasal 603 KUHP) – 5. Pidana tambahan (Pasal 18 UU TIPIKOR jo. Pasal 66 KUHP) – Adapun isi pasal yang mengatur mengenai sanksi bagi pelaku penyalahgunaan bantuan bencana yang dikategorikan perbuatannya sebagai tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: Pasal 603 KUHP (Perubahan Pasal 2 ayat (1) UU TIPIKOR) (Pidana seumur hidup, penjara sementara waktu dan denda) “Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)” Pasal 2 ayat (2) UU TIPIKOR (Pidana mati) “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.” Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU TIPIKOR “Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.” Pasal 18 UU TIPIKOR (Pidana tambahan) “(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebayak-banyaknya sama dengan harta benda yag diperoleh dari tindak pidana korupsi;c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.” Pasal 66 KUHP “Pidana tambahan terdiri atas:a. pencabutan hak tertentu;b. perampasan Barang tertentu dan/ atau tagihan;c. pengumuman putusan hakim;d. pembayaran ganti rugi;e. pencabutan izin tertentu; danf. pemenuhan kewajiban adat setempat” Sementara itu, isi pasal yang mengatur mengenai sanksi bagi pelaku penyalahgunaan bantuan bencana yang TIDAK dikategorikan perbuatannya sebagai tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: Pasal 78 UU Penanggulangan Bencana “Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan pengelolaan sumber daya bantuan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, dipidana dengan pidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun atau paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).” Pasal 65 UU Penanggulangan Bencana“Pengelolaan sumber daya bantuan bencana meliputi perencanaan, penggunaan, pemeliharaan, pemantauan, dan pengevaluasian terhadap barang, jasa, dan/atau uang bantuan nasional maupun internasional.” Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share:

Cara Penentuan Suatu Perjanjian atau Kerjasama Sebagai Penipuan atau Wanprestasi

Cara Penentuan Suatu Perjanjian atau Kerjasama Sebagai Penipuan atau Wanprestasi February 18, 2025 Perjanjian sebagai tindak pidana penipuan atau wanptestasi ditentukan oleh keadaan saat perjanjian tersebut ditandatangani. Hal tersebut sebagaimana Kaidah Hukum Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 4/Yur/Pid/2018 dan Pendapat Ahli Hukum Yahman dalam bukunya yang berjudul Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan Kaidah Hukum Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor: 4/Yur/Pid/2018 “Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan,kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/tidak baik.” Pendapat Ahli Hukum Yahman “Batasan antara wanprestasi dengan penipuan yaitu terletak pada tempus delicti atau waktu ketika perjanjian atau kontrak itu ditutup atau perjanjian/kontrak ditandatangani. Apabila adanya tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak terjadi setelah kontrak ditandatangani (post factum), maka perbuatan itu merupakan wanprestasi. Sedangkan, jika terjadi sebelum kontrak ditandatangani, maka perbuatan itu merupakan suatu perbuatan penipuan.” Merujuk dasar hukum tersebut diatas, maka dapat diterangkan bahwa apabila kebohongan itu dilakukan sebelum tanda tangan perjanjian (seperti contohnya berbohong mengenai jumlah barang yang dimiliki saat negosiasi perjanjian atau belum tandatangan perjanjian) maka perbuatan dalam perjanjian tersebut merupakan tindak pidana penipuan. Namun jika kebohongan tersebut dilakukan setelah perjanjian tersebut ditandatangani (seperti contohnya berbohong mengenai terjadinya bencana alam sehingga barang tidak dapat dikirim) maka perbuatan dalam perjanjian tersebut merupakan wanprestasi. Informasi Hukum ini ditulis oleh Maruli Harahap – Pengacara Jakarta dan Medan, keahlian Perkara Pidana, Perdata dan Perusahaan atau Bisnis. Bila anda ingin konsultasi mengenai permasalahan hukum, silakan hubungi WhatsApp: 0822-7365-6308. Share: